Sub Tema: Menjadikan Perpustakaan Sebagai Layanan Sumber Ilmu Di Era Digital
“PERPUSTAKAAN METAVERSE DIGITAL UNTUK SISWA MILENIAL”
(Oleh: Prima Pranegara, S. Pd / Guru SMA BPI 1)
“Begitulah rupa buku. Mereka membuat kamu bepergian tanpa menggerakkan kakimu“ Jhumpa Lahiri. Salah seorang penulis cantik keturunan India ini mengatakan sesuatu yang ada benarnya juga. Karena buku sering disebut sebagai jendela dunia, maka tidak heran jika kamu dapat merasakan hal yang disebutkan oleh Jhumpa Lahiri disini. Pepatah buku diibaratkan sebagai jendela dunia sendiri memiliki sejarah dan alasannya sendiri. Sejarah buku berawal dari zaman mesir kuno di tahun 2400 SM. Pada saat itu, orang-orang mesir mencoba menuliskan simbol-simbol di daun Papyrus yang dijadikan sebagai selembar kertas Papyrus. Kertas dari daun Papyrus yang ditulis oleh orang mesir pada saat itulah yang menjadi buku pertama di dunia. Sedangkan alasan buku sebagai jendela dunia adalah karena buku merupakan sumber berbagai informasi yang dapat membuka wawasan di zaman yang mesih menjadikannya relevan. Di sana berisi tentang berbagai hal seperti ilmu pengetahuan, ekonomi, sosial, budaya, politik maupun aspek-aspek kehidupan sosial lainnya. Selain itu, dengan membaca buku dapat pula mengubah masa depan, serta dapat menambah kecerdasan akal dan pikiran kita. Sehingga, buku secara fungsinya sangat relevan terhadap kehidupan manusia.
Jika buku adalah jendela dunia, maka perpustakaan bisa jadi adalah rumahnya. Dan sudah barang tentu, menjadikan perpustakaan sebagai layanan sumber ilmu di era digitalisasi adalah sebuah keharusan. Sebenarnya ide tentang perpustakaan digital bukanlah hal baru. Vannevar Bush, seorang ilmuwan berkebangsaan Amerika memberikan gagasannya pertamakali mengenai konsep perpustakaan digital pada bulan Juli tahun 1945. Beliau mengeluhkan penyimpanan informasi manual yang menghambat akses terhadap penelitian yang sudah dipublikasikan. Untuk itu, Bush mengajukan ide untuk membuat catatan dan perpustakaan pribadi (untuk buku, rekaman, dokumentasi, dan komunikasi) yang termekanisasi. Di Indonesia sendiri, perpustakaan digital telah banyak dikembangkan terutama oleh perpustakaan perguruan tinggi. Bahkan telah terbentuk beberapa jaringan perpustakaan digital seperti Ganesha Digital Library, Indonesia Digital Library Network, Spektra Virtual Library, dan yang paling baru adalah Garuda (Garba Rujukan Digital). Dari beberapa perpustakaan digital yang dibangun oleh perguruan tinggi di Indonesia, tidak ada satupun yang murni sebagai perpustakaan digital yang hanya mengembangkan, menyediakan dan mengorganisasi koleksi dan layanan secara digital, tetapi memadukannya dengan bentuk perpustakaan yang lama, yaitu perpustakaan tradisional, dimana kebanyakan koleksi perpustakaan tersedia dalam bentuk tercetak
Di lingkungan kampus BPI sebenarnya perpustakaan digital sendiri sudah tersedia. Saat penulis mencoba berselancar di e-library yang terintegrasi didalam website resmi Yayasan BPI, penulis menemukan toolbar yang sederhana dan sangat mudah untuk diakses oleh siapapun. Terdapat beberapa pilihan subjek yang dapat langsung di klik yang akan membawa kita menuju pencarian buku sesuai dengan subjek yang kita inginkan. Kita juga bisa mengetahui apakah buku yang ingin dipinjam tersedia atau tidak, lengkap dengan informasi detail lainnya berupa judul buku, pengarang, penerbit, deskripsi fisik dll. Namun, meski begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa peminat "perpustakaan" nampaknya sudah mulai jauh dan berkurang, khususnya dilingkungan Yayasan BPI. Baik itu perpustakaan konvensionalnya, maupun perpustakaan digitalnya. Hal ini terlihat dari sepinya jumlah pengunjung perpustakaan di lingkungan kampus BPI di jam-jam pembelajaran berlangsung atau bahkan jam istirahat, baik itu berkunjung secara konvensional maupun secara digital.
Dulu anak-anak mengerjakan tugasnya selalu berhubungan dengan perpustakaan, setiap ada tugas yang diberikan semua berlomba-lomba ke perpustakaan untuk mencari sumber yang akurat. Para guru pun sering membawa anak-anak untuk melaksanakan pembelajaran di perpustakaan. Seiring dengan kemajuan teknologi, maka tergeser pula beberapa kebiasaan konvensional, salah satunya adalah siswa tidak lagi menjadikan perpustakaan menjadi rujukan pertama untuk mencari informasi seputar pembelajaran atau bahkan sekedar untuk membaca ringan santai saat istirahat berlangsung. Pun sama hal nya dengan para guru yang mulai berkurang melakukan pembelajaran di perpustakaan. Sekarang ini, perangkat gawai berupa handphone dipandang jauh lebih efektif untuk mencari sumber informasi. Apakah ini salah? Tentu tidak. Manusia sudah pasti harus terus bertumbuh seiring dengan tumbuhnya tekhnologi, termasuk para siswa dan guru. Perpustakaan tetap bisa menjadi layanan sumber ilmu tentunya dengan ‘kemasan’ yang menarik.
Pada umumnya, standar perpustakaan digital hampir sama dengan standar perpustakaan non digital, seperti yang tercantum dalam pasal 11 UU No. 43 tahun 2007 tentang perpustakaan (standar koleksi, standar sarana prasarana, standar pelayanan, standar tenaga perpustakaan, standar penyelenggaraan, standar pengelolaan), namun lebih ditekankan pada koleksi dan pelayanan digitalnya. Standar khusus untuk perpustakaan digital ini secara angka masih belum ditentukan dengan jelas, namun berdasarkan pengamatan penulis, perpustakaan digital seperti halnya e-commerce harus menyesuaikan dengan kebutuhan ‘pasar’, khususnya civitas BPI.
Berdasarkan pemaparan diatas, penulis menyimpulkan beberapa permasalahan yang ditemukan, antara lain :
Dari permasalahan-permasalahan diatas serta mendukung Program Merdeka Belajar diantaranya Digitalisasi Sekolah, Pembelajaran Berbasis Teknologi, serta yang tak kalah penting adalah mendukung Program “Gemar Baca” dan Literasi, maka memiliki perpustakaan digital adalah sebuah keharusan. Hal tersebut bisa terwujud jika:
Pada akhirnya, menjadikan perpustakaan sebagai layanan sumber ilmu di era digitalisasi adalah sebuah keharusan yang mesti kita ‘paksakan’. Perpustakaan metaverse digital untuk para siswa milenial adalah salah satu cara sekolah untuk menjadikan seluruh civitas BPI ‘hidup’ literasinya, gemar membacanya, unggul lulusannya serta mempunyai daya saing nantinya.
Perpustakaan metaverse digital untuk para siswa milenial adalah perpustakaan yang tidak dibatasi oleh waktu dan tempat, tidak kalah saing dengan mesin pencari google yang dahsyat, serta tidak kalah hebat dari tiktok untuk menarik pengunjung sehingga masuk dan berminat.